RADAR ACEH | Aceh, Kecamatan Muara Dua dan Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe serta Kecamatan Nibong, Matangkuli, Pirak Timu, Tanah Luas, Syamtalira
Aron, Dewantara, Banda Baro, Sawang dan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara merupakan kawasan industri raksasa yang sudah beroperasi puluhan tahun di Aceh, Rabu (24/08).
Seharusnya kawasan ini tidak ada lagi terlihat adanya keluarga miskin apalagi yang tidak memiliki lahan untuk membangun rumah. Justru yang terlihat masyarakat yang berada dilingkungan industri industri raksasa tersebut masih banyak bergelut dengan persoalan kemiskinan.
Ironisnya lagi, kantong-kantong kemiskinan berada di luar pagar kawasan industri tersebut, seperti Exxon Mobil, PT.Arun, PT.PIM dan (PT. AAF serta PT. KKA) sekarang tidak beroperasi lagi.
Himpitan kemiskinan kian mencekam menyusul berakhirnya era gas di perut bumi Desa Aron, Aceh Utara setelah Exxon Mobil bersama PT.Arun menyedot habis gas di Desa Aron tersebut.
Bahkan PT.AAF dan KKA sudah duluan menghentikan produksinya, kini tinggal kerangka pabrik menunggu roboh karena dimakan karatan. Dengan berakhirnya era gas di Aceh Utara itu warga disekitar kawasan industri industri raksasa tersebut kini bagai anak ayam kehilangan induk tidak tahu harus berbuat apa untuk menumpang hidupnya.
Ironi memang, warga yang tinggal disekitar pabrik pabrik itu umumnya masyarakat tergusur oleh pembangunan industri raksasa tersebut. Nasib mareka kini dapat diumpamakan, setelah jatuh tertimpa tangga lagi. Artinya setelah terkena gusuran yang harus pindah dari kampung halamannya kini kehilangan mata pencaharian akibat terkena PHK.
Lebih memprihatinkan lagi kalangan mareka yang tinggal disekitar proyek vital itu tidak memiliki lahan untuk membangun rumah. "Kami ini umumnya masyarakat tergusur yang merupakan korban dari pembangunan industri,"ujar Agus yang tinggal diantara deretan gubuk gubuk yang dibangun sepanjang jalan menuju Pelabuhan Krueng Geukueh.
Dia mengistilahkan terhadap warga yang tinggal disekitar proyek vital itu dengan istilah bila mati gajah ada tinggal gading, mati harimau tinggal belang, kalau mati industri tinggal apa, selain memperbanyak keluarga miskin. "Pemerintah harus memikirkan nasib kami, korban gusuran industri raksasa itu", keluh Agus.
Dia juga menyinggung terhadap masih minimnya upaya pengentasan kemiskinan baik yang dlakukan pemerintah maupun kalangan industri. "Harusnya pemerintah dan kalangan industri lebih peka melihat nasib keluarga miskin korban gusuran atau korban PHK yang saat ini terlunta lunta dan tidak memiliki lahan untuk membangun rumah tempat tinggal", paparnya.
Sementara, H.Maksum, Mukim Blang Nalueng Mameh, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe yang masuk dalam lingkungan PT Arun mengaku, di kemukiman yang dipimpinnya saat ini ada seratusan kepala keluarga (KK) yang tidak memiliki lahan tempat tinggal dan rata-rata juga dalam kondisi terhimpit kemiskinan. Mareka ini menumpang tinggal di lahan milik Pertamina.
Terhadap warga ini, menurut Maksum, sebelumnya Pemko Lhokseumawe sudah berupaya untuk mencari lahan ke daerah lain, namun belum berhasil. "Untuk warga yang mayoritas berpencaharian sebagai nelayan itu kami meminta pemerintah untuk serius memikirkan hari depan nasib mareka," cerita Maksum.
Lain halnya pengakuan sejumlah warga di Desa Aron, yang merupakan kawasan ladang gas terbesar di Asia Tenggara, kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Hampir 40 tahun Exxon Mobil dan perusahaan pendahulunya Mobil Oil melakukan eksplorasi dan menyedot gas di Desa Aron, warga sekitar cuma bisa menonton terhadap fasilitas yang digunakan mareka.
Pembangunan yang dilakukan hanya untuk kelancaran beroperasi Exxon. Nyaris tidak terlihat warga disekitarnya mendapat kucuran dan ikut menikmati hasil kandungan gas di desa mareka yang mencapai puluhan trilyun kaki kubik. Tolong wartawan datang ke Desa Aron untuk melihat langsung apa saja peninggalan Exxon Mobil kecuali mungkin hanya racun mercury atau zat air raksa," timpa mareka,(Usman Cut Raja).