BANDA ACEH - Juanda semula hendak dijadikan ATM berjalan oleh beberapa oknum di kepolisian. Dia menolak dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rehab rumah bencana. Hal ini baru terungkap dalam pledoi ketika Juanda jadi terdakwa.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi dana rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) Kabupaten Bener Meriah tahun 2013.
Kali ini, sidang digelar dengan agenda mendengarkan nota pembelaan terdakwa mantan Kadis Sosial Bener Meriah, Drs Juanda dan dua stafnya, Jawahardi serta Zahirianto, pada Jumat, 14 Juli 2017 lalu.
Juanda didampingi Kuasa Hukum, Sulaiman, SH, dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh. Sementara Jawahardi dan Zahirianto didampingi kuasa hukum Hamidah, SH.
Hadir dalam sidang tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kardono, SH, dari Kejaksaan Negeri Bener Meriah. Sidang dimulai pukul 16.00 WIB, ketika Ketua Majelis Hakim, Faisal Adami, SH, mempersilahkan Juanda yang mengenakan kemeja putih bercelana hitam membacakan pledoi pertama. Sementara pledoi Jawahardi dan Zahirianto baru dimulai usai maghrib.
Dalam pembelaannya, Juanda mengaku diperas sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Dia dimintai uang sebesar Rp 200 juta oleh sejumlah oknum di kepolisian untuk menutup kasus tersebut.
Usaha pemerasan terjadi dua kali. Usaha pemerasan pertama dilaukan oleh BE, oknum Reskrim Polres Bener Meriah pada Oktober 2014 lalu. Saat itu BE menyampaikan maksudnya kepada Juanda melalui pihak komite yang kini telah ditetapkan jadi terdakwa, Jawahardi dan Zahrianto.
Upaya pemerasan kedua terhadap Juanda dilakukan pada tanggal 22 Februari 2015. Kali ini upaya tersebut dilakukan oknum polisi AR. Kepada majelis hakim, Juanda menyebutkan AR mendapat perintah dari Kasat Reskrim Kristanto Situmeang dan Kanit Hutapea untuk menjumpainya.
"Kata oknum polisi itu, saya harus menyediakan uang Rp 200 juta untuk menutup kasus. Saya diberi waktu dua hari, karena merasa tidak bersalah saya abaikan permintaan itu. Saya juga tidak punya uang sebesar itu," ujar Juanda.
Ancaman tersebut kemudian terbukti. Selang dua hari kemudian, 24 Februari 2015, Kapolres Bener Meriah, AKBP Wawan Gunawan, menyampaikan ke media massa bahwa Juanda ditetapkan sebagai calon tersangka dalam kasus dugaan korupsi rehab RTLH 2013.
Parahnya lagi, kata terdakwa, yang menerima dana sebesar Rp 41 juta tidak dijerat dalam kasus ini. Penerima dana yang dimaksud yaitu mantan wakil bupati dan oknum-oknum di kepolisian.
Juanda juga menyebutkan saksi yang mengantarkan uang tersebut, yaitu Lal Aotar, tidak pernah diperiksa di kepolisian maupun kejaksaan. Padahal saksi tersebut sudah meminta diperiksa.
Juanda mengakui adanya uang sebesar Rp 41 juta, karena pihaknya terus menerus dimintai fee program rehab 100 RTLH oleh Rusli M Saleh (wakil bupati) dan sejumlah oknum di kepolisian. Permintaan fee ini terjadi sejak pertama kali program diluncurkan, yaitu pertengahan 2013 sampai program berakhir pada Desember 2013.
Juanda heran jika dirinya dipidanakan dalam kasus korupsi RTLH 2013. Apalagi ia mengaku hanya sebagai pembina dan bertanggungjawab atas Lpj pengerjaan yang dilakukan komite sampai akhir proses pengerjaan, sesuai SK Gubernur. Juanda juga hanya menerima Lpj 41 unit rumah dari total 100 unit yang harus dikerjakan di sembilan kecamatan.
"Saya tidak tahu, siapa yang mengerjakan sisa rumah 59 unit lagi, karena pihak komite tidak pernah menyerahkan laporan pertanggungjawabannya sama saya," kata Juanda.
Juanda menyebutkan sebanyak 41 unit rumah dilaksanakan Ahmadi. Sosok yang bersangkutan saat ini menjabat sebagai Bupati Bener Meriah. Menurutnya, dana untuk program 41 unit rehab RTLH ini berjumlah Rp 783 juta lebih. Namun, Bendahara Komite memotong anggaran tersebut sebesar Rp 77 juta lebih. Akhirnya Ahmadi hanya menerima dana sebesar Rp 706 juta.
Juanda menjelaskan, bila dihitung sesuai anggaran per unit rumah adalah Rp19 juta, maka Ahmadi seharusnya cukup merehab 37 unit rumah saja dengan total anggaran Rp706 juta. Namun, Ahmadi tetap merehab sebanyak 41 unit rumah dengan rincian, 18 unit rumah berada di kecamatan Bandar dan Bener Kelipah, 14 unit di Kecamatan Permata dan 9 unit di Kecamatan Syiah Utama. Akibatnya, Ahmadi terpaksa menggunakan uang pribadi sebesar Rp7,5 juta lebih untuk menutupi anggaran yang telah dipangkas tersebut. Bukti Lpj dan bukti serah terima dengan pemilik rumah tersebut saat ini ada pada Juanda.
Juanda mengatakan tidak ada kerugian negara dalam penggunaan anggaran RTLH 2013 sesuai audit tim independen dari Universitas Malikussaleh. Hal ini kemudian diperkuat pernyataan saksi mantan auditor BPKP, Ramli Puteh, di persidangan sebelumnya.
Anehnya, kata Juanda, pihak Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh justru mengeluarkan hasil audit dengan kerugian negara mencapai Rp 257 juta. Padahal BPKB Aceh juga memakai berkas hasil pemeriksaan dari tim ahli Unimal tersebut.
"BPKP menggunakan berkas Tim Unimal yang sudah diubah untuk mengaudit kerugian negara, dengan kerugian mencapai Rp257 juta dan dijadikan patokan hukum untuk menjerat saya, dan berkas itu yang digunakan oleh JPU. Sedangkan berkas aslinya yang ada pada pihak Unimal tidak ada kerugian sama sekali. Ini benar-benar aneh," katanya.
Fee untuk Mantan Wakil Bupati
Juanda dalam persidangan tersebut mengakui menerima uang sejumlah Rp 41 juta dari Ketua Komite Bener Maju, Marzuki. Uang tersebutlah yang kemudian menjerat Juanda dalam kasus korupsi dana swakelola rehab Rumah Tidak Layak Huni atau RTLH Bener Meriah tahun anggaran 2013.
"Setelah saya terima dari Marzuki, hari itu juga uang saya berikan kepada Rusli M Saleh (wakil bupati Bener Meriah-red) di Pendopo Dua. Dia juga menyuruh saya untuk membagikan uang itu ke sejumlah oknum polisi di Polres Bener Meriah," kata Juanda.
Juanda mengaku menerima dan menyerahkan uang tersebut pada 3 Februari 2013. Dia ditemani supir pribadinya, Lai Aotar menuju ke Pendopo Dua, tempat kediaman M Saleh saat itu.
Juanda menyebutkan M Saleh mengambil Rp15 juta saat itu. Sebanyak Rp5 juta dipergunakan M Saleh untuk beli beras penjaga kebun kopinya di Kampung Sayeng, Kecamatan Pinto Rime. Sisanya lagi sebanyak Rp15 juta diserahkan untuk Kasat Reskrim Mahliadi, dan sebanyak Rp2 juta diberikan untuk Kasat Intel Rudi Fatar.
Selanjutnya, sebanyak Rp1 juta dipergunakan untuk membeli ban mobil dinas Kapolsek Buket, dan Rp1 juta untuk membeli semen pembuatan kolam Kapolres Cahyo Hutomo.
"Sisanya lagi saya gunakan untuk memperbaiki mobil Rescue Dinas Sosial. Tidak ada sepeserpun saya gunakan untuk pribadi. Makanya saya merasa dizalimi dalam kasus ini. Saya yang hanya dapat perintah mengambil dan menyerahkan, namun dipidanakan. Saya selalu pertanyakan ini sejak proses pemeriksaan di kepolisian," ujarnya.
Sidang dengan agenda nota pembelaan dari tiga terdakwa, yaitu Drs Juanda selaku mantan Kadis Sosial Bener Meriah, Jawahardi dan Zahirianto yang tercatat sebagaiPNS di dinas tersebut berlangsung mulai pukul 16.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Dalam persidangan tersebut, Jawahardi dan Zahirianto didamping kuasa hukum Hamidah, SH. Hadir juga Jaksa Penunutut Umum atau JPU dari Kejaksaan Negeri Bener Meriah, Kardono, SH.
Kuasa hukum Juanda, dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh atau YARA, Sulaiman, SH, di akhir nota pembelaan meminta majelis hakim untuk membebaskan kliennya dari dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Menurut Sulaiman, terdakwa tidak terbukti telah melakukan korupsi sesuai fakta-fakta persidangan dan barang bukti yang telah dihadirkan dalam persidangan, terutama hasil audit dari tim ahli.
Sulaiman juga menyebutkan Juanda bukan orang yang bertanggungjawab dengan RTLH 2013 di Bener Meriah. Juanda disebutkan hanya sebagai pembina program swakelola yang menghabiskan dana Rp 1,9 miliar tersebut. Menurut Sulaiman, Marzuki cs selaku pengurus Komite Bener Maju yang seharusnya dijerat dalam kasus ini.
Hal senada juga disampaikan Hamidah, SH, pengacara terdakwa Jawahardi dan Zahrianto. Dia menyebutkan dakwaan dan tuntutan yang disampaikan JP, Kardono, SH, seharusnya ditujukan kepada Marzuki. Kuasa hukum terdakwa menilai Marzuki paling bertanggungjawab terhadap pengelolaan anggaran publik itu.
Sementara itu, Kardono, SH, saat ditemui portalsatu.com usai persidangan mengaku tidak mengetahui bahwa berkas bukti hasil audit BPKP tidak sesuai dengan hasil yang dikeluarkan tim ahli Unimal.
"Kami selaku JPU hanya menerima bukti dari pihak penyidik kepolisian. Dan semuanya sudah sesuai dengan tuntutan maupun dakwaan. Bila dikatakan hasil palsu, silahkan melapor ke penyidik polisi, jangan ke Jaksa dong," katanya.
Kardono mengatakan semua pernyataan terdakwa akan dibantah dalam persidangan selanjutnya pada Rabu 26 Juli 2017 mendatang.
Usai mendengarkan pembelaan terdakwa, Majelis Hakim yang diketuai Faisal Adami, SH, memutuskan sidang dilanjutkan pada Rabu, 26 Juli 2017. Agenda sidang selanjutnya adalah mendengarkan tanggapan JPU.
Pada sidang sebelumnya, terdakwa Juanda, Jawahardi dan Zahirianto didakwa pasal 2 atau pasal 3 atau Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor. Mereka dituntut empat tahun penjara dengan denda Rp350 juta subsider 1 tahun penjara. Ketiga terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dari program rehab 100 unit RTLH 2013 di Bener Meriah, dengan kerugian negara Rp257 juta.
Untuk diketahui, dana Rehab 100 unit RTLH di Bener Meriah tahun 2013 menggunakan anggaran APBA senilai Rp1,9 miliar, yang ditransfer melalui rekening Dinas Sosial Provinsi ke nomor rekening Komite Bener Maju.
Kasus tersebut pertama kali dilaporkan Kanit II Tipikor Reskrim Polres Bener Meriah, Bantasyam Efendi ke polres setempat, pada 5 Februari 2014. Kemudian pada 23 September 2016, Juanda ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan selama 10 hari, sesuai surat perintah penahanan http://ift.tt/2uAAVCH (A,007).