Rukun Dan Damai Bersenergi, Dimana Damai Kalau Tidak Rukun
15 Agustus 2005 merupakan tonggak bersejarah bagi rakyat Aceh karena pada tanggal tersebut dicapai kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan GAM setelah puluhan tahun berperang. Dan pada 15 Agustus 2016 lalu berarti sudah 11 tahun damai Aceh.yang setiap tahunnya diperingati sebagai mengenang betapa pahit, pedih dan sengsaranya saat perang berkecamuk.
Dalam kurun waktu damai tersebut bagi rakyat Aceh tentu sudah merasakan betapa nikmatnya suasana damai. Tidak ada lagi rasa takut, was was atau khawatir dalam bepergian bahkan yang lebih berkesan tidak meninggalkan dendam sesama kendati semasa perang banyak nyawa melayang dan kehancuan harta benda.
Namun dalam suasana damai tersebut pula mungkin banyak diantara kita ikut menyaksikan berbagai didamika sosial dan politik yang tidak damai. Dapat dibaca, apakah semua yang terjadi belakangan ini sebagai sinyal perdamaian yang belum sepenuhnya damai.atau memang sudah ciri khas diantara kita untuk sulit damai.
Kenapa kita mudah lupa, kalau yang namanya pertikaian, pertengkaan dan tidak rukun ujungnya rugi. Menyedihkan memang, entah sudah nasib bagi rakyat Aceh kalau pemimpinnya di era damai ini, mulai tingkat gampong hingga elit elit puncak di provinsi dalam kondisi tidak rukun. Kenapa kita belum juga sadar bila suasana gontokan akan sangat mudah dipolitisir menjadi muatan politik yang bertendensi konflik kembali.
Mestinya perbedaan pemikiran dan persepsi politis tidak muncul dalam ruang publik secara blablakan'. Apalagi kisarannya konflik hanya berputar pada kepentingan yang sama secara berulang-ulang. Ngerinya lagi tidak rukun sudah tercover oleh media secara tebuka dimana antar pihak yang bertikai, seperti mempermainkan perdamaian.
Berulangnya konflik antar elit hari ini, akan memicu macetnya pembangunan. Damai menjadi mainan politik, semakin tinggi pemahaman damai secara politik, semakin tinggi pula peran mereka dalam ayunan do da idi nanggroe menjadi suasana yang gamang.
Harusnya dalam dinamika roda pemerintahan yang telah berjalan selama ini, semua yang mengarah kepada ketidakstabilan politik dalam nanggroe sudah terkikis habis. Bahkan kebijakan Jakarta dengan terus membantu dan bersahabat menjadi peluang bagi mempercepat kemakmuran nanggroe seperti yang.teruang dalam UUPA.
Namun yang terjajadi dan berkembang bukannya makmur dan tenteram, yang terbangun lebih mengarah kepada semacam 'bargaining power' baru yang dijadikan amunisi sebagai 'bom waktu' klonflik baru.
Sebagai contoh, lambang dan bendera yang belum sepakat merobah kian membuka babak baru ketidakharmonisan Aceh dengan Jakarta yang pada gilirannya menjadi wacana yang rentan jika tidak disikapi dengan cara bijaksana.
Disisi lain dengan kucuran dana'yang melimpah apa yang terlihat selain rakyat yang terus terhimpt kemiskian. Mestinya kita bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan yang sedang terjadi, dalam arti kita juga harus introspeksi, melakukan evaluasi atas kinerja kita selama ini.
Apakah karunia Allah SWT dalam menggapai perdamaian yang disertai guyuran dana yang melimpah telah benar benar kita jalankan menurut yang diamanahkan?.
Apakah dana melimpah itu telah kita jadikan fondasi bagi kemakmuran Aceh, apakah tata kelola dana sudah tepat guna untuk rakyat di semua lini baik kota maupun gampong?.
Semua pertanyaan pertayaan tersebut mungkin tidak terjawab, karena di tataran elit hingga hari ini belum rukun. Amanah UUPA masih jalan ditempat. Begitu juga cita cita menjadikan Aceh sebagai negeri bersyariat Islam yang madani cuma mimpi.
Maka sudah semestinya kita tidak menafikan persoalan negeri sendiri yang carut marut dengan bertindak sebagai orang yang tidak melihat gajah dipelupuk mata, namun bisa melihat semut di seberang lautan. Kita jangan munafik atas realitas karunia yang didapat dengan tidak mengoptimalkan dalam membangun basis perdamaian dan kemakmuran.
Al Qur'an, Surat Ali Imron ayat 103. terjemahannya ;
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu orang orang bersaudara karena nikmat Allah".
Mari kita renungkan pula, manakala amanah rakyat kepada para pemimpin tidak dijalankan maka Allah bisa berkehendak kepada siapapun yang tidak mau bersyukur.
Penulis Oleh: (Usman Cut Raja).