Mesjid Besar Bujang Salem Krung Geukueh

RADAR ACEH | Gelora Perang Aceh melawan kolonial Belanda terjadi tahun 1873. Dalam berkecamuknya perang yang digelorakan melalui semangat perang sabil banyak wilayah di Aceh mendirikan masjid.
Masjid di Aceh saat itu disamping sebagai tempat ibadah dan pendidikan juga sebagai tempat menyusun strategi perang melawan penjajah kolonial. Banyak cerita kalau mesjid di Aceh merupakan benteng pertahahan, salah satunya masjid Bujang Salem di Krueng Geukueh,Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang didirikan pada tahun 1923.

Sebagaimana masjid masjid lain di Aceh, masjid Bujang Salem juga memiliki sejarah penting pada masa penjajahan Belanda.Adalah Tgk Rhi Bujang Bin Rhi Mahmud atau Bujang Salem (1891-1959), seorang pahlawan rakyat yang merintis pembangunan masjid ini
yang kemudian dinamakan masjid Bujang Salem sebagai mengenang
kepahlawanan beliau.

"Masjid ini dirintis pembangunannya masa penjajahan Belanda oleh Tgk Rhi Bujang atau Bujang Selamat. Dia merupakan seorang tokoh, ulama dan pejuang sekaligus yang mengobarkan perlawanan kepada Belanda hingga kemudian dibuang ke Van Digul, Papua dan diasingkan ke Australia," kata Tgk H Abubakar Abbas tokoh masyarakat Dewantara, Sabtu (27/8).

Menurut Tgk H Abubakar, sejarahnya demikian, tidak saja masjid Bujang Salem, masjid di Nisam dan Lhok Weng juga,pembangunannya diprakarsai Tgk Bujang Selamat dan sama fungsinya yaitu untuk menyusun strategi perang melawan kolonial, selain untuk melaksanakan ibadah, pendidikan dan musyawarah.

Diceritakan, masjid Bujang Salem pada saat pertama dibangun hanya pondasi lantai dan dindingnya yang beton sementara lainnya dari kayu. Lantai dan dindingnya menggunakan beton campuran pasir, batu kapur dan telur ayam sebagai zat perekat. Masjid yang tampak cukup megah sekarang ini di Aceh Utara, saat pertama dibangun luasnya cuma 12 x 12 meter persegi.

Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi
perluasan pertama dilakukan pada tahun 1946 dilanjutkan lagi tahun 1974. Renovasi tahun 1974 mesjid ini diperluas dengan menambah teras di depan serta samping kiri dan samping kanan hingga berukuran 50 x 30 meter.

Selesai renovasi tahap II lalu oleh Mukim Krueng Geukueh yang
juga Imam Besar masjid ini, Tgk H. Adamy Puteh, Bujang Salem
diabadikan menjadi nama resmi masjid ini. Seterusnya renovasi kembali dilakukan pada tahun 1986 yang dimotori beberapa tokoh Dewantara dan Nisam.

Camat Dewantara saat itu, Marzuki Muhammad Amin menjadi Ketua
Umum Renovasi. Ketua Pelaksa Pembangunan, Tgk H Abubakar Nisam Jaya, (almarhum). Marzuki M Amin hingga menjabat Walikota Lhokseumawe masih tetap menjadi Ketua Umum Renovasi Masjid Bujang Salem.

Yang membanggakan dalam pembangunan renovasi ke tiga masjid Bujang Salem sumber dana sepenuhnya melalui partisipasi dan sumbangan perorangan, Pimpinan Provita, PT AAF, PIM, PT Arun dan PT KKA, PNS, Pegawai BUMN, swasta dan instansi pemerintah,baik kabupaten maupun provinsi dan pusat.

Dari luas sebelumnya 50 x 30 meter kini menjadi 95 x 80 meter dengan lima buah kubah. Masjid ini juga dilengkapi ruang pertemuan, kantor serta ruangan Radio FM Bujang Salem. Disampingnya berdiri bangunan Serba Guna, dua lantai. Lantai dasar sebagai tempat wudhuk dan lantai dua sebagai ruangan pertemuan dengan kapasitas 500 orang.

Ruangan ini untuk pertama kali digunakan sebagai tempat pertemuan. Mubahasah Ulama se-Aceh yang berlangsung awal Agustus 2009 lalu. Masjid termegah di Aceh Utara saat ini telah menghabiskan biaya lebih Rp. 12 miliar juga akan dibangun sebuah menara induk setinggi 50 meter didepannya.

Selama berdiri, mesjid ini sudah sering dijadikan sebagai tempat
pertemuan penting para ulama dan umara baik level daerah maupun
nasional. Sebut saja dalam peringatan Israk Mikraj tahun 2004 yang dihadiri Susilo Bambang Yudoyono, Presiden Republik Indonesia.
(Penulis Oleh : Usman Cut Raja)

Tag : NEWS
Back To Top